Sabtu, 17 Desember 2011

EUTHANASIA

2.1.       Definisi Euthanasia dan Perkembangannya
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita". Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Euthanasia, yaitu mempercepat proses kematian pada penderita penyakit, yang tidak dapat disembuhkan dengan melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan medis, dengan maksud untuk membantu korban menghindarkan diri dari penderitaan dalam menghadapi kematiannya.[1]
Sedangkan qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) menurut Dr. Yusuf Qardhawi ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.[2]
Aksi ini dilakukan secara legal menurut undang-undang untuk pertama kali adalah di negara Belanda, negara pertama di dunia yang telah secara hukum menyetujui euthanasia. Meskipun begitu, aksi tersebut dilakukan dengan sangat hati-hati dan dengan berbagai perhitungan terlebih dahulu.


2.2.       Bentuk- Bentuk Euthanasia
Dilihat dari kondisi pasien, tindakan euthanasia bisa dikategorikan menjadi dua macam, yaitu aktif dan pasif. Euthanasia aktif adalah suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medika, dan sebagainya, dimana tindakan mempercepat proses kematian di sini adalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukan adanya harapan hidup. Dengan kata lain, tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan. Apalagi jika penderita ketika itu masih sadar. Beberapa contoh di antaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis. Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan buatan untuk melanjutkan gerakkehidupannya. Namun, ada yang  menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan euthanasia pasif adalah suatu tindakan membiarkan pasien atau penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), berdasarkan pengalaman maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah yang terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung dan sebagainya. Kondisi seperti sering disebut dengan “fase antara“,yang dikalangan masyarakat umum diistilahkan dengan “antara hidup dan mati“. Contohnya seperti berikut:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati --padahal masih ada kemungkinan untuk diobati-- akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita tashallub al Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi (kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan --tanpa diberi pengobatan—apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut. At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan kehilangan kemampuan/control pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan bantuan khusus selama hidupnya. Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya. Dalam contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.

        
2.3.       Euthanasia dalam Kode Etik Kedokteran dan KUHP
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Hanya saja isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung masalah. Sebagai terlihat pada pasal itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa itu harus disebut dengan nyata dan sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien yang sakit jiwa, anak-anak, atau penderita yang sedang comma. Mereka itu tidaklah mungkin membuat pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti sungguh-sungguh. Sekiranya euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bias melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a.   Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indinesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.[3]

2.4.       Konsep dan Kriteria Kematian
Dahulu mungkin dikatakan mati jika dilihat tidak bernafas (bisa saja dia mati suri), kemudian ukuran ini berubah dengan tidak berfungsinya jantung atau gerak nadi. Kemudian diketahui bahwa jantungpun ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak di kepala. Makanya Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI) dan para ahli kedokteran sepakat bahwa yang menjadi patokan dalam menentukan kematian adalah batang otak. Jika batang otak betul-betul sudah mati harapan hidup seseorang sudah terputus.
Menurut dr.Yusuf Misbach (ahli saraf), terdapat dua macam kematian otak, yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual, dan kematian batang otak, kerusakan pada batang otak lebih fatal, karena di bagian itulah terdapat pusat saraf penggerak yang merupakan motor semua saraf tubuh, hal ini juga dikemukakan oleh dr. Kartono Muhammad (Wakil Ketua IDI). Ia mengatakan bahwa seseorang dianggap mati apabila batang otak yang menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi. Tegasnya batang otak merupakan pedoman untuk mengetahui masih hidup atau sudah matinya seseorang yang sudah tidak sadar.
Untuk menentukan kerusakan otak pada maunusia menurut Prof.Dr. Mahar Mardjono (eks Rektor UI) tidak terlalu sulit bagi rumah sakit yang tidak ada alat electro encefalograf (EEG), bisa juga dengan menggunakan alat detektor otak, maka cukup dengan mengetes refleksi kornea mata, apabila pupil (anak mata) masih memberi reaksi terhadap cahaya. Bisa juga dengan memeriksa refleks vestibula ocular (meneteskan 20 cc air es ke telinga kiri dan kanan, kemudian memeriksa reaksi motoriknya pada mata).[4]

2.5.       Hukum Euthanasia Menurut Islam
Euthanasia merupakan suatu persoalan yang dilematik baik di kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan. Di Indonesia masalah ini juga pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam seminarnya pada tahun 1985 yang melibatkan para ahli kedokteran, ahli hukum positif dan ahli hukum Islam, akan tetapi hasilnya masih belum ada kesepakaran yang bulat terhadap masalah tersebut. Demikian juga dari sudut pandang agama, ada sebagian yang membolehkan dan ada sebagian yang melarang terhadap tindakan euthanasia, tentunya dengan berbagai argumen atau alasan. Dalam Debat Publik Forum No 19 Tahun 1V, 1 Januari 1996, Ketua Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Prof. KH. Ibrahim Husein menyatakan bahwa, Islam membolehkan penderita AIDS diethanasia jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Obat atau vaksin tidak ada.
            2. Kondisi kesehatannya makin parah.
3. Atas permintaannya dan atau keluarganya serta atas persetujuan dokter.
4. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengizinkannya.
Masjfuk Zuhdi mengatakan bahwa sekalipun obat atau vaksin untuk HIV/AIDS tidak atau belum ada dan kondisi pasien makin parah tetap tidak boleh di euthanasia sebab hidup dan mati itu di tangan Tuhan. Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah dalam Surat Al-Mulk ayat 2:
…………………………………………………………
”Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”[5]
Tetapi pengalaman juga menunjukkan bahwa pada saat-saat ketika hal- hal yang tidak secara tegas dilarang dalam kitab-kitab suci dan dinyatakan terlarang menurut pandangan pemuka agama, suatu saat dapat berubah. Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus berlangsung. Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Maka Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam pengkajian (muzakarah) yang diselenggarakan pada bulan Juni 1997 di Jakarta yang menyimpulkan bahwa euthanasia merupakan suatu tindakan bunuh diri.[6]
Solusi bagi pasien yang putus asa dari kesembuhan sehingga ingin bunuh diri atau euthanasia adalah, ia menyadari akan kelemahan imannya, sebab sakit
adalah satu bentuk ujian kesabaran. Jika ingin euthanasia dengan permintaan sendiri maka Allah mengancamnya melalui hadis Nabi yang artinya : “Barang siapa mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya pula dalam neraka. Dan siapa menikam dirinya, maka ia menikam dirinya pula dalam api neraka” (H.R. Bukhari).
Jika pihak keluarga merasa kasihan pada pasien atau tidak sanggup dengan biaya perawatan maka mereka memutuskan untuk euthanasia aktif sementara si pasien masih ada tanda-tanda kehidupan (belum
mati batang otaknya), maka si pelaku euthanasia dan keluarga pemberi izin, tergolong pembunuhan disengaja dan pelaku jarimah (akan kena hukuman). Hal ini diancam Allah dalam firmannya yang artinya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya
ialah neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya”. (Q.S. an- Nisa` : 93).
Jika keluarganya ingin pasien di euthansia dengan tujuan agar cepat memperoleh harta warisan, dalam KUHP merupakan tindakan pembunuhan direncanakan dan diancam hukuman. Sementara dalam ajaran Islam, orang yang membunuh tidak akan mendapatkan wasisan dari orang yang dibunuhnya itu, jika ia merupakan salah satu ahli warisnya.
Tapi para ulama sepakat dan begitu juga dikalangan kedokteran bahwa euthanasia pasif atau negative dibolehkan, yakni tanpa memberikan pengobatan bagi pasien karena tidak mampu atau memang pasrah dengan keadan yang tak tau kepastiannya, hanya menunggu kekuasaan Allah. Tidak boleh menginginkan mati, sesuai dengan hadis nabi yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra. bersabda Rasulullah saw, janganlah ada seseorangdari kamu yang mengiginkan mati. Kalau ia baik (orang yang sakit itu) mungkin akan bertambah kebaikannya, dan kalau ia jahat mungkin ia bias bertaubat” (H.R. Bukhari Muslim).[7]
Begitu juga menurut Dr. Yusuf Qardhawi,  memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter—maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib. Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan,  maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) –kalau boleh diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi. Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara', bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.[8]


[1] Petrus Yoyo Karyadi, Euthanasia dalam Perspektif Hak Azasi Manusia, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001, hal. 28.
[2] Fatwa- Fatwa Kontemporer Yusuf Qardhawi, Bab Euthanasia.
[3] Problematika Hukum Islam Kontemporer oleh: Fauzi Aseri.
[4]Euthanasia dalam Perspektif Islam” oleh: Ramadhan Syahmedi Siregar, S.Ag, MA.

[5] Mushaf Al-Qur’an terjemah.2002. Al-Huda. Kelompok Gema Islami
[6] Fauzi Aseri, Akhmad. 2002. Problematika Hukum Islam Kontemporer.
[7] Artikel “Euthanasia dalam Perspektif Islam” oleh: RAMADHAN SYAHMEDI SIREGAR, S.Ag, MA. Diambil dari: www.usu.ac.id
[8] Fatwa-fatwa Kontemporer Dr. Yusuf Qardhawi Gema Insani Press, bab  Euthanasia hal: 219 - 225 .

IDEOLOGI MUHAMMADIYAH

Pengertian Ideologi
Ideologi berasal dari bahasa Yunani dan merupakan gabungan dari dua kata yaitu edios yang artinya gagasan atau konsep dan logos yang berarti ilmu. Pengertian ideology secara umum adalah sekumpulan ide, gagasan, keyakinan, pandangan dan kepercayaan yang menyeluruh dan sistematis. Dalam arti luas, ideology adalah pedoman normative yang dipakai oleh seluruh kelompok sebagai dasar cita-cita, nila dasar dan keyakinan yang dijunjung tinggi.
Adapun pengertian Ideologi menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
a.       Destut De Traacy
Istilah ideology pertama kali dikemukakan oleh destut de Tracy tahun 1796 yang berarti suatu program yang diharapkan dapat membawa suatu perubahan institusional dalam masyarakat Perancis.
b.      Lyman Tower Sargent
Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau kepercayaan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh beberapa kelompok 
c.       M. Djindar Tamimy (Allahuyarham)
Ajaran atau ilmu pengetahuan yang secara sistematis dan menyeluruh membahas mengenai gagasan, cara-cara, angan-angan (baca: cita-cita–Penulis) atau gambaran dalam pikiran, untuk mendapatkan keyakinan mengenai hidup dan kehidupan yang benar dan tepat; berarti pula keyakinan hidup.
           
2.2.      Landasan Normatif Ideologi Muhammadiyah
Adapun landasan normatif ideologi Muhammadiyah adalah berlandaskan pada Al Qur’an:
a.       QS. Al Imron: 104
Yang artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar,  merekalah orang-orang yang beruntung. 
b.      QS. Al Imron: 110
Yang artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

2.3.      Fungsi Ideologi Muhammadiyah
                        Adapun fungsi Ideologi Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
a.       Menjelaskan dan menanamkan “Islam agamaku, Muhammadiyah Gerakanku”
b.      Membangun komitmen idealisme untuk menjalankan misi dan cita-cita gerakan
c.       Mengikat solidaritas kolektif yang kokoh
d.      Membela/ menjaga/ mempertahankan keutuhan organisasi sesuai prinsip gerakan
2.4.      Tiga Point Penting Ideologi Gerakan Muhammadiyah
Pertama, pembahasan ideologi/keyakinan hidup mencakup 3 bidang yaitu: Pandangan hidup; Tujuan hidup; Ajaran dan cara yang dipergunakan untuk melaksanakan pandangan hidup dalam mencapai tujuan hidup tersebut.
Kedua, ideologi/keyakinan hidup Muhammadiyah adalah berdasarkan dan bersumberkan ajaran-ajaran Islam.
Ketiga, ideologi/keyakinan hidup adalah hasil ciptaan (akal pikiran) manusia, yang pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip yang mempunyai sifat tetap/tidak mudah berubah; sedangkan ajaran Islam yang menjadi dasar dan sumber ideologi/keyakinan hidup Muhammadiyah adalah wahyu Allah yang bersifat abadi/tidak berubah-ubah.
2.5.      Enam Dimensi Ideologi Gerakan Muhammadiyah
Adapun dimensi Ideologi gerakan Muhammadiyah telah dirumuskan oleh Bpk. Haedar Nashir,  sebagai berikut:
a.       Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan sistem paham dan teori perjuangan yang dilandasi, dijiwai, dan dibingkai serta dimaksudkan untuk mengamalkan Islam dalam seluruh kehidupan umat manusia.
b.      Ideologi gerakan Muhammadiyah ialah manhaj (sistem, metode) dakwah Islam untuk mengajak manusia beriman kepada Allah (tu’minuna billah) serta amar ma`ruf nahi munkar.
c.       Ideologi gerakan Muhammadiyah ialah sistem dan teori perjuangan Islam untuk tajdid (pembaruan) sehingga selalu terbuka pada kritik dan memiliki agenda perubahan ke arah kemajuan (ishlah).
d.      Ideologi gerakan Muhammadiyah memiliki kerangka pemikiran dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan pemikiran-pemikiran formal lainnya dalam Sistem Keyakinan dan Hidup Islami dalam Muhammadiyah.
e.       Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan teori dan strategi perjuangan Islam yang menyeluruh dan mencakup seluruh aspek kehidupan untuk mewujudkan Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
f.       Ideologi gerakan Muhammadiyah merupakan tali pengikat gerakan yang diwujudkan dalam sistem organisasi, jama`ah, kepemimpinan, dan gerakan amal usaha untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil`alamin di muka bumi ini.
2.6.      Ideologi Global Muhammadiyah
2.6.1.   Muhammadiyah dan Agama
Ideologi Muhammadiyah tentang agama telah dijelaskan dalam Matan Keyakinan dan Cita- Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) yang intinya adalah sebagai berikut: Muhammadiyah berkeyakinan, bahwa Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada nabi penutup Muhammad saw., sebagai hidayat dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan materiil dan spirituil duniawi dan ukhrawi.
Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan :
a.       Al-Qur'an : Kitab Allah yang diwahyukan kepada NabiMuhammad saw.
b.      Sunnah Rasul : Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh nabi Muhammad saw dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Dengan kata lain, Muhammadiyah berpedoman pada prinsip purifikasi dan dinamisasi dalam memahami agama Islam.
Muhammadiyah juga bekerja untuk terlaksananya ajaran- ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: aqidah,  akhlak, ibadah dan mu'amalat duniawiyat.
Dalam hal aqidah secara global dan secara mendasar, Muhammadiyah merujuk pada Al Qur’an surah Al Ikhlas: 1-4 dan QS. Al Furqon: 63-77. Sedangkan dalam bidang akhlaq, merujuk pada QS. Al Qalam: 4, QS. Al Ahzab: 21, dan QS. Al Bayyinah: 5.
Dalam bidang ibadah, Muhammadiyah berdasarkan firman Allah SWT pada QS. Asy Syam:5-8, QS. Ali Imron: 114 dan QS Al Ashr: 3. Sedangkan dalam bidang mu’amalah duniawiyah merujuk pada QS. Al Baqarah: 30, QS. Shad: 27, QS. Ali Imron: 112 dan 142, QS. Al Insyiroh: 5-8  dan QS Al Qashas: 77.


2.6.2.   Muhammadiyah dan Keummatan
Pada tahap awal pertumbuhannya, Muhammadiyah tidak membangun kongsi- kongsi dagang, tetapi membangun sekolah sebanyak mungkin. Pertimbangannya sangat jelas yakni kebodohan telah menjadi musuh terbesar umat Islam dan mustahil umat Islam dapat membangun masa depan yang lebih baik bilamana kebodohan dan keterbelakangan tetap saja melekat lengket dalam kehidupan umat Islam.
Olehkarena itulah Muhammadiyah dalam hal keummatan mempunyai doktrin yaitu enlightenment atau pencerahan ummat Islam. Lewat doktrin tersebut, Muhammadiyah merintis sekolah umum sebanyak- banyaknya, tidak hanya pesantren saja. Menarik untuk diingat anjuran tokoh- tokoh Muhammadiyah agar ZIS (zakat, Infaq dan Shodaqoh) tidak saja disalurkan ke masjid, tetapi kalau perlu lebih banyak disalurkan ke lembaga pendidikan.
Alasannya jelas, yakni umat Islam yang berjubel memadati masjid tidak akan pernah dapat berangkat jauh bila mereka tetap terbelenggu dalam kebodohan dan keterbelakangan. Umat Islam yang bodoh, demikian keprihatinan para tokoh Muhammadiyah sejak dulu, dapat berubah posisi dari mayoritas kuantitatif menjadi mayoritas kualitattif.
Dalam mencerdaskan dan mencerahkan umat, Muhammadiyah menempuh tiga proses pendidikan sekaligus, yakni ta’lim, tarbiyah, dan ta’dib. Ta’lim yaitu berusaha mencerdaskan otak manusia. Tarbiyah yaitu mendidik perilaku yang benar. Sedangkan ta’dib yaitu memperhalus adab kesopanan. Dengan kata lain, Muhammadiyah mencoba memasukkan nilai- nilai ke-Islaman dalam lembaga pendidikan Muhammadiyah.
Pada saat ini, bila kita perhatikan, hasil usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan relatif telah memuaskan. Santri bukan lagi mengandung seseorang yang lemah, bodoh, sarungan, berwawasan sempit, serta mudah dipecundangi, tetapi sebaliknya, santri adalah sosok manusia beragama, yang makin cerdas, dan kritis, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, berwawasan luas dan sangat yakin diri. ICMI barangkali adalah salahsatu gambaran santri modern, dan samapai batas tertentu, konstribusi Muhammadiyah dalam mengubah citra santri lewat proses pencerahan itu tidak dapat diabaikan.
Adapun dasar Muhammadiyah dalam bidang ini adalah merujuk pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah At Taubah: 122, QS. An Nahl: 43, Al Qashas: 77, QS. Al Mujadilah: 11, QS. Al Baqarah: 197, QS. Ali Imron: 190-191, QS. Al Maidah: 100, Ar Ra’d: 19-20, QS. Al Isro’: 36 dan QS. Az Zumar: 18.

2.6.3.   Muhammadiyah dan Sosial
Pada masa awal berdirinya Muhammadiyah, salahsatu cita- cita KHA. Dahlan dalam mendirikan organisasi Muhammadiyah adalah untuk merentas masalah sosial pada masyarakat Indonesia, salahsatunya adalah kemiskinan. Hal ini dapat disimpulkan dari kenyataan bahwa KHA. Dahlan mengajarkan dalam setiap forum pengajian, surat Al Ma’un sampai para pendengarnya merasa bosan sampai surat Al Ma’un itu mulai dipraktekkan dalam kenyataan oleh para anggota dan simpatisan Muhammadiyah.
Bila dipadatkan dalam empat buah istilah, cita- cita sosial Muhammadiyah berkisar pada ukhuwah, hurriyah, musawah, dan ‘adaalah (persaudaraan, kemerdekaan, persamaan, dan keadilan). Seperti sabda Rasulullah Saw, tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri (ukhuwah). Didunia ini manusia bebas merdeka untuk memilih jalan hidupnya namun ia akan bertanggungjawab sepenuhnya di hadapan Allah (hurriyah). Sedangkan musawah berarti bahwa manusia punya kesamaan derajat dengan manusia lain sehingga tidak boleh ada eksploitasi atas manusia, karena memang tidak ada hubungan antar manusia yang berdasarkan inferioritas dan superioritas tertentu.
Sementara itu keadilan dalam arti luas menjadi pondasi paling dalam untuk tegaknya persaudaraan, kemerdekaan, dan persamaan di atas. Demikian mendasarnya keadilan ini dalam Islam, sehingga orang luar seringkali menyebut Islam sebagai religionof justice. Keadilan dalam Islam bersifat komprehensif (menyeluruh), yaitu meliputi kehidupan sosial, hukum, politik, ekonomi, dan lain sebagainya.
Muhammadiyah dalam prakteknya guna mencapai cita- cita sosial tersebut diatas, dapat kita liat melalui amal usaha Muhammadiyah antara lain: PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang saat ini disebut juga Pusat Kesehatan Umat, PAYM (Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah), LAZISMU (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah), amal usaha pendidikan dan PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah). Melalui bidang pendidikan ini pulalah Muhammadiyah ingin mencetak ahli- ahli kesehatan, ahli hukum, pakar ekonom, dan lain sebagainya. Seperti pesan dari KHA. Dahlan, pendiri Muhammadiyah, “Jadilah engkau dokter, guru, insyinyur, dll, dan kembalilah ke Muhammadiyah”.
Adapun dasar Muhammadiyah dalam bidang ini adalah merujuk pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Al Ma’uun: 1-7, QS. Ali Imron: 104 dan 110, QS. An Nisa’: 58,  QS. Al Anfal: 27, dan QS. Ibrahim: 7.

2.6.4.   Muhammadiyah dan Politik Kebangsaan
Dalam mencapai cita- cita perjuangan untuk membangun masyarakat utama yang diridhoi Allah SWT, Muhammadiyah menghindari kegiatan politik kenegaraan atau politik praktis. Sebagaimana sejak didirikannya, Muhammadiyah tidak melakukan perjuangan politik praktis untuk meraih kekuasaan di ranah negara sebagaimana halnya partai politik.
Muhammadiyah dengan menggariskan Khittahnya sebenarnya ingin menegaskan bahwa politik tidak dapat dihimpitkan dengan dakwah. Demikian pula partai politik tidak dapat disatu-paketkan dengan organisasi dakwah. Penghimpitan dan penyatuan politik dan dakwah sekilas tampak ideal dan akan menghasilkan buah perjuangan yang positif tetapi jangka panjang justru mengandung banyak masalah dan bom waktu konflik keagamaan sekaligus konflik politik.
Olehkarena itu, Muhammadiyah merumuskan dan melahirkan konsep kepribadian Muhammadiyah pada tahun 1962. Salahsatu latar belakangnya, agar cara- cara dan karakter perjuangan politik tidak masuk ke tubuh Muhammadiyah, serta Muhammadiyah lebih dapat berkonsentrasi pada gerakan dakwah. Biarlah Muhammadiyah memfokuskan diri mengurus dakwah dan tajdid di ranah masyarakat, sedangkan perjuangan politik kenegaraan secara terfokus pula dilakukan oleh partai politik.
Muhammadiyah juga telah menetapkan kebijakan mengenai larangan rangkap jabatan tertentu antara jabatan- jabatan penting di Persyarikatan dengan jabatan- jabatan penting di partai Politik. Kebijakan Muhammadiyah tersebut tidak lain untuk membingkai gerakan Muhammadiyah agar tetap dalam koridornya sebagai gerakan Islam yang berkiprah di lapangan dakwah kemasyarakatan yang tidak berpolitik praktis di ranah perjuangan kekuasaan Negara.
   Muhammmadiyah memiliki Pedoman Hidup Islami dalam kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Selain Khittah Ujung Pandang dan Denpasar, Muhammadiyah juga merumuskan pedoman sebagai acuan bagi tingkahlaku (mode for behavior) atau lebih konkret lagi acuan bagi tindakan (mode for action) yang membingkai dan mengikat setiap anggota dalam kehidupan  poitik. Pedoman berpolitik (berbangsa dan bernegara) tersebut merupakan bagian dari seluruh acuan Muhammadiyah yang terkandung dalam Pedoman HIDUP Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) yang diputuskan dalam Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Kandungan isi dari Pedoman Hidup Islami dalam Berbangsa dan Bernegara tersebut sebagai berikut:
Kehidupan dalam berbangsa dan bernegara
1)      Warga Muhammadiyah perlu mengambil bagian dan tidak boleh apatis (masa bodoh) dalam kehidupan politik melalui berbagai saluran secara positif sebagai wujud bermuamalah sebagaimana dalam bidang kehidupan lain dengan prinsip-prinsip etika /akhlaq Islam dengan sebaik-baiknya dengan tujuan membangun masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2)      Beberapa prinsip dalam berpolitik harus ditegakkan dengan sejujur-jujurnya dan sesungguh-sesungguhnya yaitu menunaikan manat (Q.S An-Nisa / 4 :5) dan tidak boleh menghianati amanah ( Q.S. An-Nisa / 4 : 58), menegakkan keadilan, hukum, dan kebenaran (Q.S. Al-Anfal / 8: 27), ketaatan kepada pemimpin sejauh sejalan dengan perintah Allah dan Rasul (Q.S An-Nisa / 4 : 58), mengemban risalah Islam (Q.S Al-Anbiya / 21 :107), menunaikan amar ma’ruf, nahi munkar, dan mengajak orang untuk beriman kepada Allah (Q.S Ali Imran /3:104,110), mempedomani Al-Qur’an dan Sunnah (Q.S An-Nisa /4: 108), mementingkn kesatuan dan persaudaraan umat manusia (Q.S An-Nisa/ 4: 108), menghormati kebebasan orang lain (Q.S. Al-Hujarat/49:13), menjauhi fitnah dan kerusakan (Q.S. Al-Balad/90:13) menghormati hak hidup orang lain (Q.S. Al-An’am/ 6: 151), tidak berkhianat dan melakukan kezaliman (Q.S. Al-Furqan/ 25:19, Al-Anfal/ 8:27), tidak mengambil hak orang lain (Q.S. Al-Maidah/5: 38), berlomba dalam kebaikan (Q.S. Al-Baqarah/ 2:148), bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan serta tidak bekerja sama (konspirasi) dalam melakukan dosa dan permusuhan (Q.S.Al-Midah/ 5: 2), memelihara hubungan baik antara pemimpin dan warga (Q.S. An-Nisa/ 4: 57-58), memelihara keselamatan umum (Q.S. At-Tubah/ 9:18), hidup berdmpingan dengan baik dan damai (Q.S. Ali Imran/3:104, Al- Qashsash/ 28:77), tidak melakukan fasad dan kemungkaran (Q.S. Ali Imran/ 3: 104, Al-Qashash/ 28:77), mementingkan ukhwah Islamiyah (Q.S. Ali Imran/3: 103), dan prinsip-prinsip lainnya yang maslahat, ihsan dan isalah.
3)      Berpolitik dalam dan demi kepentingan umat dan bangsa sebagai wujud ibadah kepada Allah dan islah serta ihsan kepada sesama, dan jangan mengorbankan kepentingan yang lebih luas dan utama itu demi kepentingan diri sendiri dan kelompok yang sempit.
4)      Para politisi Muhammadiyah berkewajiban menunjukkan keteladanan diri (uswah hasanah) yang jujur, benar, dan adil serta menjauhkan diri dari perilku politik yang kotor, membawa fitnah fasad (kerusakan), dan hanya mementingkan diri sendiri.
5)      Berpolitik dengan kesalehan, sikap positif, dan memiliki cita-cita bagi terwujudnya masyarakt Islam yang sebenar-benarnya dengan fungsi amar ma’ruf dan nahi munkar yang tersisitem dalam satu kesatuan imamah yang kokoh.
6)      Menggalang silaturrahmi dan ukhwah antar politisi dan kekuatan politik yang digerakkan oleh politisi Muhammadiyah secara cerdas dan dewasa.
   Adapun kebijakan larangan rangkap jabatan, pimpinan pusat Muhammadiyah telah memberlakukannya sebagaimana ditetapkan dalam Khittah Ujung Pandang tahun 1971, yang beberapa kali diperbaiki dan disempurnakan oleh PP. Muhammadiyah. Dengan kata lain bukan merupakan kebijakan yang baru dan selama ini telah terbukti berlaku secara efktif di lingkungan Muhammadiyah. Dalam prakteknya karena situasi dan pertimbangan khusus terkadang ada keringanan tertentu yakni memperoleh izin kepada PP. Muhammadiyah untuk diperbolehkan merangkap jabatan tetapi sifatnya terbatas dan benar- benar diperlukan. Namun tidak sampai ada penolakan terhadap kebijakan Muhammadiyah tersebut.
Kebijakan Muhammadiyah tersebut terkandung dalam Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah nomor 101/KEP/I.0/B/2007 tentang Ketentuan Jabatan di Lingkungan Persyarikatan yang Tidak Dapat Dirangkap dengan Jabatan Lain yang dikeluarkan tanggal 15 Rajab 1428 H bertepatan dengan 30 Juli 2007 M.

2.6.5.   Muhammadiyah dan Seni Budaya
   Muhammadiyah memandang bahwa Islam adalah agana fitrah, yang tidak bertentangan dengan fitrah manusia. Islam bahkan mengatur dan mengarahkan fitrah manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluk Allah SWT.
   Rasa seni merupakan penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa dan ajaran Islam.
Berdasarkan keputusan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 ditetapkan bahwa karya seni hukmnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), isyyan (kedurhakaan) dan ba’id’anillah (terjauhnya dari Allah; maka pengembangan kehidupan seni harus sejalan dengan etika atau norma- norma Islam sebagaimana dituntunkan tarjih tersebut.
   Begitupulah seni rupa, seni suara, seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta menjadi haram (terlarang) manakala membawa kemusyrikan dan melanggar norma agama Islam.
   Setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni budaya sebagai sarana dakwah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun dasar Muhammadiyah dalam bidang ini adalah merujuk pada firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ar Rum: 30.